SUMMER BLOSSOM
FF WINNER FOR CHO HEE-KYUNG
Music:
Schubert – Serenade
Yoo Mi-Sook – Serenade
Nana Mouskouri – Serenade
==============================================================
What happens when he’s your prince charming, but you’re not his Cinderella?
==============================================================
HEE-KYUNG’S POV
Aku berjalan keluar dari rumahku dengan semangat penuh. Musim panas sudah datang, musim yang paling aku sukai dari 4 musim yang ada di Korea. Bukankah musim panas adalah musim yang paling indah? Bunga-bunga bermekaran dimana-mana, semua orang memakai baju berwarna-warni, bukan pakaian tebal membosankan seperti yang mereka pakai saat musim dingin. Ditambah lagi di musim panas sering terjadi hujan, walaupun aku lebih suka gerimis karena tidak terlalu membuat basah.
Aku menunduk dan melihat pakaian yang kukenakan hari ini. Tank-top berwarna oranye lembut dan cardigan berwarna kuning muda, plus rok kotak-kotak berwarna cokelat. Benar-benar warna musim panas.
Biasanya aku baru akan keluar rumah untuk bekerja pada malam hari. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe di jalanan paling sibuk seantero Korea, Myeongdeong. Aku tinggal sendiri di kota ini karena orang tuaku tinggal di Busan. Setamat SMA, aku memilih untuk menetap di kota ini, mencari pekerjaan dan membiayai hidupku sendiri. Orang tuaku sudah cukup kerepotan tanpa harus ditambah dengan kecemasan mengenai hidupku, jadi lebih baik aku menyenangkan hati mereka saja. Dan musim panas kali ini aku memutuskan untuk mengambil shift dari siang sampai malam saat aku tidak ada kuliah siang.
Aku berlari menaiki bis yang baru saja berhenti di depan halte. Hanya tersisa satu kursi kosong dan aku bersyukur bahwa akulah satu-satunya yang naik di halte ini, jadi aku mendapatkan tempat duduk itu.
Aku menoleh ke arah pria yang duduk di sampingku. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela bus dan menatap ke jalanan di luar. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku rasa umur pria itu hanya berjarak 1 atau 2 tahun di atasku. Dan rupa wajahnya dari samping terlihat sangat tampan. Pria itu memiliki hidung mancung, bibir penuh, dan rahang yang tegas. Ada headset yang tergantung di telinganya, menandakan bahwa dia tidak ingin diganggu atau mungkin dia memang lebih senang mendengarkan musik dibandingkan mendengarkan hiruk-pikuk di sekelilingnya.
Pria itu mengenakan kemeja biru langit yang hanya dikancingkan sebagian, memperlihatkan kaus singlet putih yang dijadikannya sebagai dalaman. Sebuah tas ransel tergeletak di pangkuannya, sedangkan kakinya tertekuk di antara sela sempit kursinya dan kursi di depannya, menunjukkan bahwa dia adalah pria yang cukup tinggi. Dan rambut hitamnya terlihat sedikit berantakan karena sering disentuh. Secara keseluruhan, pria itu benar-benar sangat menarik.
Aku menyadari bahwa aku menghabiskan banyak waktu untuk memandanginya, padahal aku bukan jenis gadis yang suka memperhatikan orang lain. Terakhir kalinya aku memperhatikan seorang pria bahkan saat aku masih SMA, itupun hanya karena pria itu adalah kekasihku. Ngomong-ngomong tentang itu aku jadi teringat bahwa aku tidak pernah pacaran lagi sejak saat itu. Kedengarannya kehidupan percintaanku cukup menyedihkan.
Aku baru akan beranjak karena bus yang kutumpangi sudah sampai di depan halte tempat aku turun, saat tiba-tiba pria di sampingku juga bangkit berdiri sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dan detik itu juga aku hanya bisa terpaku syok, akhirnya mengetahui apa yang orang sebut sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama.
***
“YAK! Kenapa kau lama sekali, hah? Aku bahkan sudah menunggumu lebih dari setengah jam! Cuaca panas sekali! Kau tahu tidak?”
“Kau berisik!”
Aku melangkah perlahan, berusaha menetapkan jarak yang cukup dekat untuk mendengar percakapan mereka, tapi tidak terlalu dekat sampai mereka mengetahui bahwa aku menguping. Coba tebak apa yang aku lakukan sekarang. Aku mengikuti pria tadi. Benar, pria tadi. Pria yang saat turun dari bus langsung disambut oleh seorang gadis berpenampilan tomboy yang anehnya masih terlihat sangat cantik walaupun aku yakin tidak ada sentuhan make-up sedikitpun di wajahnya itu kecuali bedak, make-up paling standar di dunia. Apa… saat akhirnya aku menyukai seorang pria lagi, aku harus menyerah di menit berikutnya karena kehadiran gadis lain?
“Yak, Cho Kyuhyun, kau pikir menunggu itu menyenangkan?”
“Kalau bukan aku yang harus menunggu sepertinya itu cukup menyenangkan… Na~ya.”
Jadi namanya Kyuhyun? Cho Kyuhyun? Namanya bahkan terdengar bagus sekali.
“Aish, dalam waktu dekat kau pasti akan mati di tanganku!” timpal gadis itu sambil melayangkan pukulan yang cukup keras ke lengan Kyuhyun, membuat pria itu sedikit meringis kesakitan.
“Yak, Han Hye-Na! Berani sekali kau!”
Aku membulatkan mata saat tersadar bahwa mereka melangkah masuk ke dalam kafe tempatku bekerja. Apa itu berarti… hari ini hari keberuntunganku?
Mereka mengambil tempat di sudut di dekat jendela, tempat yang strategis, karena aku bisa memperhatikan mereka dari meja layan.
Aku bergegas masuk ke ruang ganti dan dengan tergesa-gesa mengambil celemek yang menjadi ciri khas kafe kami, kemudian berlari lagi ke ruang depan, mengambil buku menu dan menyerahkannya kepada dua orang itu. Untung saja belum ada pelayan lain yang mendahuluiku.
“Coffee latte dan tiramisu.”
Aku bahkan nyaris melonjak-lonjak saat mencatat pesanannya. Suara pria itu bagus sekali, terdengar berat dan menenangkan di saat yang bersamaan.
“Dua,” sahut gadis yang duduk di depannya, yang seingatku bernama… Hye-Na. Sepertinya. Aku tidak tahu apakah aku sudah memutuskan untuk membencinya atau tidak. Dia bahkan tidak mendongak sama sekali dari PSP yang sedang ditatapnya dengan penuh perhatian, atau boleh kubilang… penuh nafsu membunuh.
“Tidak boleh. Makanlah sesuatu yang lebih berat. Kau belum makan dari pagi, kan?”
“Apa urusannya denganmu? Kau bukan seseorang yang punya hak untuk mengatur apa yang harus kumakan!” ucap gadis itu sinis.
“Ngomong-ngomong, kalau kau mengalami amnesia lagi, aku ini sahabatmu, dan itu berarti aku mendapat hak penuh,” tandas Kyuhyun tajam. Dan anehnya, saat pria itu mengucapkan kata ‘sahabat’, aku merasa mimik wajahnya menunjukkan raut ketidaksukaan. Seolah pria itu sangat membenci statusnya di mata gadis itu. Kalau seandainya aku berusaha menutup mata, aku akan berpura-pura tidak melihatnya, tapi yang ada di pikiranku sekarang hanyalah bahwa pria ini, pria yang kusukai ini, menyukai gadis lain. Gadis yang sama sekali tidak menyadari perasaannya.
“Ganti tiramisu yang dipesannya dengan kimbab,” ujar Kyuhyun, terlihat puas saat gadis di depannya tidak menyuarakan penolakan sama sekali.
“Baik,” ucapku sambil membungkuk sopan sebelum beranjak pergi. Aku menyerahkan pesanan mereka ke dapur dan menunggu di balik meja layan.
“Hmm… aku mencium adanya bau cinta disini,” ujar Park Hae-Yeon, sahabatku yang juga mengambil shift yang sama denganku. Dia mengedip ke arahku dengan tatapan jahil. Dia tetanggaku, biasanya mengambil shift siang, dan menambahnya dengan shift malam selama musim panas.
“Mereka biasanya bertiga. Ada satu namja lagi. Namanya Lee Donghae. Dan mereka semua satu kampus dengan kita. Donghae sunbae bahkan satu jurusan. Aku dengar kita mengambil kelas Puisi yang sama dengannya. Hanya saja dia memang belum pernah masuk kelas.”
“Jenis nappeun namja?”
“Lebih buruk dari itu. Dia itu playboy kelas berat. Ada puluhan gadis yang sudah dikencaninya dan kemudian dicampakkannya begitu saja. Bahkan ada beberapa yang dikabarkan hamil, tapi tidak pernah ditindaklanjuti kebenarannya. Rekor pacarannya yang paling singkat adalah dua jam, aku dengar dia mencampakkan gadis itu karena gadis itu payah dalam berciuman. Dan rekor terlamanya adalah dua hari, itu jika dia tertarik untuk menarik gadis itu ke atas tempat tidur.”
“Apa dia berkuasa? Ayahnya pemilik kampus?” tanyaku dengan nada tidak suka.
“Kau benar. Ayahnya pemilik saham terbesar. Lebih tepatnya, ayah mereka bertiga adalah pemilik saham, hanya saja ayah Donghae sunbae-lah pemilik 40% saham, jadi dia yang paling berkuasa.”
“Dan membuatnya bisa bertindak seenaknya? Belum melihatnya saja aku sudah membencinya.”
“Coba kalau kau sudah melihat wajahnya. Dia tampan sekali, dan anehnya, wajahnya itu sepolos malaikat. Dan Kyuhyun sunbae yang terkenal dingin dan tidak pernah dekat dengan wanita manapun selain Hye-Na malah memiliki aura seperti setan.”
“Gadis itu lebih kecil dari kita?”
“Siapa? Hye-Na? Dia lebih kecil satu tahun dari kita. Mahasiswi baru. Dan langsung dibenci semua mahasiswi lain karena dia terlihat dekat dengan dua namja yang paling diinginkan seantero kampus.”
“Aku bahkan belum pernah mendengar tentang dua namja itu sama sekali.”
“Kau kan memang tidak pernah tertarik dengan gosip apapun, pantas saja kau tidak mengenal mereka,” tandas Hae-Yeon. “Jadi… kau menyukai Kyuhyun sunbae?”
Wajahku tanpa bisa dikendalikan mulai memerah, memperlihatkan dengan jelas jawabanku tanpa perlu kusuarakan secara langsung.
“Berhati-hatilah. Mungkin lebih baik kau menghentikannya sekarang.”
“Kenapa? Karena dia menyukai Hye-Na? Gadis itu sepertinya hanya menganggapnya sebagai sahabat.”
Hae-Yeon tersenyum prihatin ke arahku, sesuatu yang tidak kusukai.
“Bahkan baru sekali bertemu kau sudah bisa menebaknya dengan tepat? Aku terkadang heran bagaimana bisa Hye-Na berpura-pura tidak menyadari tatapan segamblang itu,” ujar Hae-Yeon sambil menggelengkan kepalanya. “Aku sudah memperhatikan mereka bertiga selama berbulan-bulan, Hee-Kyung~a. Mereka selalu kesini setiap makan siang. Dan aku bersedia mempertaruhkan gajiku selama sebulan bahwa Hye-Na juga memiliki perasaan yang sama dengan Kyuhyun sunbae. Hanya tunggu waktu sebelum mereka berdua mau mengakuinya. Kau yakin bisa masuk di tengah-tengah dua orang itu? Sebelum kau sakit hati, aku sarankan agar kau segera berhenti.”
“Tidak,” ujaru tegas. “Selama dia masih belum menjadi milik siapapun, aku tidak akan berhenti.”
***
“Apa namja itu yang bernama Lee Donghae?” tanyaku sambil mengedikkan dagu ke arah seorang namja yang baru saja duduk di meja yang ditempati Kyuhyun dan Hye-Na.
“Mmm,” gumam Hae-Yeon. “Tampan, kan?”
Yah, aku tidak mau mengatakan omong kosong bahwa namja itu tidak tampan dan Hae-Yeon memang benar, wajahnya tampak seperti malaikat tanpa dosa. Tidak heran ada begitu banyak gadis yang bersedia dicampakkan olehnya.
“Sudah pergi sana, tanya apa ada yang mau dia pesan.”
“Tidak mau. Kau saja.”
“Dari awal kan kau yang melayani meja mereka. Lagipula apa kau mau melewatkan kesempatan melihat wajah Kyuhyun sunbae dari dekat lagi?”
Aku mengerang pelan. Gadis satu ini tahu saja kelemahanku.
***
DONGHAE’S POV
Aku memarkirkan mobil di pelataran kafe yang cukup sepi dan langsung meloncat turun, setengah berlari masuk ke dalam kafe. Kira-kira, aku sudah terlambat 15 menit dari jadwal pertemuan yang sudah dijanjikan, dan mengingat kedua orang itu selalu tepat waktu, aku mendadak mual membayangkan pelototan yang akan kudapatkan nanti. Mereka berdua benar-benar pasangan yang mengerikan.
Aku melemparkan senyum kepada seorang gadis yang cukup cantik di dekat pintu masuk. Gadis itu hanya duduk sendiri dan mengirimkan pandangan bahwa dia tidak akan keberatan jika aku menawarkan diri untuk duduk bersamanya. Tentu saja itu akan aku lakukan jika aku tidak punya janji dengan dua setan menyeramkan itu.
Oh, baiklah, sudah jelas sekali kan kalau aku ini pria macam apa? Aku tidak mau bersusah-payah mengingkari kenyataan itu. Untuk apa? Itu malah sesuatu yang membanggakan. Aku mencintai wanita dan sangat mengagumi mereka. Apalagi jika wanita itu cantik dan menyenangkan. Sayangnya, aku belum menemukan satu wanita cerdas pun yang bisa memahami setiap topik yang aku bicarakan. Satu-satunya yang memenuhi setiap kriteria wanita sempurna idamanku hanya Hye-Na, dan jelas bahwa aku sudah mengurungkan niatku dari awal untuk mendekatinya. Aku tidak akan mengejar buruan sahabatku sendiri. Kyuhyun pasti akan melakukan segala cara untuk menjauhkanku dari Hye-Na, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat gadis itu tidak menunjukkan minat sedikitpun terhadapku. Jadi sejauh ini aku harus memuaskan diri dengan mendekati setiap wanita yang cukup menarik, lalu meninggalkan mereka jika mereka tidak sesuai harapan. Ada begitu banyak wanita yang membenciku, tapi ada lebih banyak lagi yang bersedia jatuh ke pelukanku. Bukan hal yang sulit.
“Kau pikir kau Tuan Besar sehingga punya hak untuk datang kapanpun kau mau?” sambut Hye-Na saat aku baru saja menjatuhkan tubuhku ke atas kursi.
“Gadis mana lagi yang baru kau campakkan?” ujar Kyuhyun tanpa menunjukkan minat sedikitpun.
“Salah satu dosenku,” ucapku sambil tersenyum, tahu bahwa aku baru saja mendapatkan perhatian Hye-Na. Kami berdua satu jurusan, kecuali Kyuhyun yang memilih jurusan musik.
“Yang mana?” sentak gadis itu tajam.
“Lee Soo-He.”
“Dan kau masih punya muka untuk masuk ke kelasnya?”
“Tentu saja,” jawabku santai. “Dia sudah berjanji padaku bahwa dia tidak akan menggagalkanku di kelasnya hanya karena aku mencampakkannya. Dan aku tidak heran kenapa wanita secantik dia belum menikah. Dia pencium yang buruk. Dan masih perawan.”
“Dan kau mencampakkannya hanya karena dia tidak bersedia kau tiduri?” dengus Kyuhyun.
“Tidak juga. Dia memang pintar, tapi aku mendapatkan tanda-tanda bahwa dia ingin menarikku ke altar.”
Kyuhyun tertawa keras dan mendapatkan lirikan tajam dari Hye-Na.
“Itu bukan sesuatu yang harus kau tertawakan, bodoh!” sentak gaadis itu marah.
“Aku hanya penasaran wanita mana yang akan berhasil menarikmu ke altar.”
“Nah, yang seperti itu juga lumayan,” ujarku sambil mengerling ke arah salah seorang pelayan yang melangkah ke arah meja kami. Gadis itu cantik dan kelihatan cukup terpelajar. Lagipula kakinya sangat indah.
“Selamat siang, apa Anda sudah memutuskan ingin memesan sesuatu?”
“Apa kau tidak termasuk dalam daftar menu?”
Aku mendengar Hye-Na menghela nafas keras tapi tidak memedulikannya sama sekali. Aku malah memfokuskan pandangan ke arah gadis pelayan itu. Dia tampak manis dalam balutan pakaian musim panasnya yang terang benderang, seperti sinar matahari. Warnanya maksudku.
Sial! Hae-Yeon benar! Pria ini benar-benar tidak bisa melihat makhluk berjenis kelamin perempuan! Apa dia tidak bisa menghentikan mulut penuh rayuannya itu sebentar saja? Dia bahkan berani menggodaku yang jelas-jelas seorang pelayan! Benar-benar tidak tahu sopan-santun!
Aku tersentak kaget saat mendengar rentetan kalimat yang seperti disemburkan langsung ke mukaku tapi juga terdengar seperti gaung, seolah suara itu berasal dari otakku sendiri. Dan aku merasa sangat tidak waras saat menyadari bahwa aku baru saja membaca pikiran gadis pelayan di depanku.
“Siapa Hae-Yeon?” tanyaku, memastikan tebakan tidak masuk akal yang terlintas di benakku. Dan benar saja, gadis itu tampak terkesiap kaget, seolah aku baru saja merangsek masuk ke dalam pikirannya. Dan aku memang sedang melakukannya.
Bagaimana pria itu tahu apa yang baru saja aku pikirkan? Darimana dia tahu nama Hae-Yeon? Astaga, pria ini bukan seorang peramal yang bisa membaca pikiran, kan?
“Tidak, aku bukan peramal, tapi sialnya, aku memang bisa membaca pikiranmu.”
“Heh, Lee Donghae, apa itu jurus barumu untuk menarik perhatian seorang gadis? Itu sama sekali tidak lucu, kau tahu?” sela Kyuhyun dengan tatapan memperingatkan.
Aku sama sekali tidak memedulikannya. Aku hanya ingin tahu….
Benar, pasti itu hanya tekhnik barunya untuk menarik perhatianku saja. Apa dia pikir aku akan jatuh ke pelukannya seperti gadis-gadis lainnya? Bodoh sekali dia karena berpikir begitu. Lihat, jelas bahwa sahabatnya jauh lebih baik dan punya otak. Tidak salah kan kalau aku menyukainya? Tidak seperti pria bernama Lee Donghae yang tidak punya sopan santun ini.
Jadi kenapa aku bisa membaca pikiran gadis yang jelas-jelas membenciku dan tertarik pada sahabatku sendiri? Menggelikan! Bagaimana bisa aku terjebak dalam situasi bodoh seperti ini?
Aku mendorong kursiku ke belakang dengan suara keras dan bangkit berdiri, tanpa berkata apa-apa meninggalkan ketiga orang itu. Aku harus tahu apa yang sedang terjadi. Di duniaku yang normal, tidak ada sesuatu yang tidak masuk akal seperti membaca pikiran. Dan aku harus tahu kenapa. Kenapa hanya gadis itu saja? Di antara begitu banyak gadis, kenapa hanya satu orang yang bisa aku baca pikirannya dan kenapa harus gadis itu? Kenapa harus seorang gadis yang tidak menyukaiku?
***
“Jadi kau terlambat menemukan takdirmu?”
Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan ayahku. Aku memang langsung ke kantornya setelah kabur dari kafe dan menyerangnya dengan pertanyaan bertubi-tubi.
“Apa maksud pertanyaan itu?”
“Kau tidak ingat bahwa aku pernah menanyaimu saat ulang tahunmu yang ketujuh belas? Aku bertanya apakah ada sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal sedang terjadi. Kau bilang tidak ada dan kau juga tidak bertanya lebih jauh, jadi aku tidak punya kesempatan untuk menjelaskan.”
“Jadi… ayah punya penjelasan yang masuk akal untuk ini semua?” tanyaku sangsi.
“Tidak juga. Kau pikir apa yang masuk akal dari membaca pikiran seorang wanita?”
Aku berhenti berkacak pinggang di depannya dan memilih duduk di atas kursi yang tersedia di depan meja kerjanya.
“Aku mendengarkan,” putusku, berharap bisa segera terbebas dari semua ketidakwarasan ini.
“Sebenarnya itu kemampuan turun-temurun, melampaui tiap satu generasi. Kakekmu menjelaskan kepadaku, berharap aku bisa menjelaskannya padamu. Kekuatan membaca pikiran itu hanya muncul saat kau bertemu dengan takdirmu. Kau bisa membaca pikiran seorang wanita dan itu berarti wanita itulah yang akan menjadi pendampingmu seumur hidup. Tidak ada yang tahu asal-usul kekuatan ini, setiap orang yang mengalaminya hanya menerimanya saja dengan senang hati. Bukankah menyenangkan kau bisa tahu yang mana takdirmu tanpa perlu kebingungan mencarinya?”
Aku bergerak gelisah di kursiku. Apa yang baru saja ayahku katakan? Takdir? Pendamping seumur hidup? Omong kosong macam apa itu?
“Apa tidak ada cara untuk menghentikannya?”
Ayahku menatapku sesaat sebelum menjawab.
“Ada. Kekuatan itu akan hilang saat wanita itu berkata bahwa dia mencintaimu. Tanpa paksaan dan atas kemauannya sendiri.” Ayahku melipat tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuh. “Jadi beritahu appa, kenapa kau ingin kekuatan itu menghilang? Apa gadis itu tidak sesuai dengan seleramu? Kau tidak menyukainya?”
“Bukan begitu,” ucapku setengah hati. “Aku baru bertemu gadis itu hari ini dan sepertinya dia sudah mendengar hal-hal yang buruk tentangku. Bukan aku yang tidak menyukainya, tapi dia yang membenciku. Dan sepertinya dia menyukai Kyuhyun.”
“Tentu saja gadis baik-baik tidak akan menyukaimu. Kau suka bergonta-ganti wanita, apa yang bisa diharapkan dari pria sepertimu?”
“Appa memata-mataiku, ya?” tanyaku curiga.
“Tidak. Tapi kau mengencani sekretarisku dan dia mengundurkan diri karena merasa tidak enak padaku. Untung saja aku masih bisa mempertahankannya. Kerjanya bagus, kau tahu? Lain kali tolong jangan ganggu karyawanku. Mengerti?”
Aku tidak menjawab. Tentu saja sulit memenuhi permintaan seperti itu. Radarku selalu bekerja lebih cepat dari otakku kalau sudah menyangkut wanita cantik.
“Mulai sekarang hentikanlah sifat Cassanova-mu itu. Kau tidak perlu mencari gadis lain lagi karena kau sudah menemukan takdirmu. Tidak ada lagi gadis yang lebih pantas untuk mendampingimu selain gadis itu.”
“Tidak peduli apakah dia menyukaimu atau tidak, kau harus mengubah pikirannya,” lanjut ayahku saat aku tidak berkomentar apa-apa.
Aku menghela nafas kemudian mengedikkan bahu santai. “Akan kupikirkan.”
***
Untung saja kaca kafe itu transparan dan untung saja kaca mobilku gelap, jadi aku bisa dengan leluasa memandang ke arah kafe dari dalam mobilku tanpa ketahuan. Gadis itu masih bekerja. Sepertinya dia baru kali ini mengambil shift siang, makanya aku baru bertemu dengannya. Dan sepertinya dia juga melanjutkan dengan shift malam. Tipe mandiri dan pekerja keras?
Aku mengetuk-ngetukkan jari ke dashboard mobil. Sudah dua jam aku melakukan pengintaian ini dan tidak tahu kenapa aku melakukannya. Tapi cukup berguna, karena aku jadi bisa mempelajari seperti apa gadis itu sebenarnya. Dia gadis yang baik, ramah, dan jelas bahwa satu-satunya orang yang tidak disukainya hanya aku saja. Dia membalas senyuman semua pelanggan pria dengan manis, jadi kenapa dia malah melotot kepadaku?
Aku keluar dari mobil saat semua pegawai kafe keluar dari pintu depan. Salah seorang dari mereka mengunci pintu dan aku melihat gadis itu berjalan bersisian dengan seorang agdis lainnya. Sepertinya itu gadis yang bernama Hae-Yeon.
“Kyung~a, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku, membuat gadis itu menghentikan langkahnya kaget.
“Darimana kau tahu namaku?” tanyanya defensif.
“Karena itu kita harus bicara,” ujarku tenang.
Dia menatapku sangsi dan menggeleng. “Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan,” putusnya sambil berjalan melewatiku. Aku dengan cepat mengunci mobilku dan setengah berlari menjejeri langkahnya.
“Hee-Kyung~a, kau tidak apa-apa berjalan ke halte sendirian?” tanya Hae-Yeon sambil melirikku.
“Tidak apa-apa. Kau pulang saja,” ucapnya sambil melambaikan tangan dan berjalan ke arah berlawanan.
“Kau tidak penasaran kenapa aku bisa membaca pikiranmu?” kejarku.
“Kau tidak bisa membaca pikiranku,” ucapnya dengan nada tegas tanpa menoleh ke arahku sama sekali.
Apa pria ini tidak bisa meninggalkanku sendiri? Menyebalkan!
“Sekarang kau ingin aku meninggalkanmu sendirian, kan? Dan kau berpikir bahwa aku menyebalkan.”
“Berhentilah mencoba menebak-nebak isi otakku!” serunya kesal.
“Aku tidak menebak-nebak. Aku memang bisa membaca pikiranmu.”
“Terserah kaulah,” ucapnya tak peduli, dan tiba-tiba saja dia sudah berlari kencang dan menyelip masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti di halte. Aku terpana sesaat sebelum ikut berlari dan berhasil naik di detik-detik terakhir saat pintu bergeser menutup. Aku melihat gadis itu duduk di bagian belakang dan bergegas menghampirinya.
“Kau tidak akan melepaskanku, ya?” ujarnya sinis, memalingkan wajahnya ke jendela.
“Di keluargaku, melangkahi setiap satu keturunan, para pria mendapat kekuatan untuk membaca pikiran takdirnya. Kami semua mendapat kekuatan itu saat berumur 17 tahun, tapi tidak sadar bahwa kami memiliki kekuatan itu sampai kami menemukan takdir kami sendiri. Dan aku baru mengetahuinya tadi siang.”
Akhirnya aku mengucapkan sesuatu yang cukup menarik untuk mendapatkan perhatiannya, karena kemudian dia menoleh ke arahku, walaupun masih dengan wajah tanpa ekspresi.
“Kau serius, ya?” tanyanya enggan. “Apa yang sedang aku pikirkan sekarang?”
Kau pria brengsek tidak berperasaan yang suka sekali menyakiti hati para gadis!
“Haruskah kau memikirkan kalimat seperti itu?” ujarku sambil sedikit meringis. Dia sama sekali tidak menanggapiku, hanya menatapku datar, meminta bukti dari ucapanku tadi. “Kau bilang aku pria brengsek tidak berperasaan yang suka sekali menyakiti hati para gadis.”
Aku tersenyum puas saat melihat matanya membulat tak percaya.
“Kita ditakdirkan bersama. Lucu, kan? Aku ditakdirkan hidup bersama seorang gadis yang bahkan tidak menyukaiku sama sekali.”
“Bagus kalau kau tahu,” ucapnya sinis, tapi aku tahu bahwa ada pergolakan dalam dirinya sendiri. Mengetahui bahwa ada seseorang yang bisa membaca pikiranmu, menjadi takdirmu, dan jelas adalah orang yang sangat tidak kau sukai, bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Dia memalingkan wajahnya lagi dan mengeluarkan sebuah MP3 player dari dalam tasnya. Aku mengerutkan kening saat merasa mengenali benda itu. Benda itu hanya ada dua di dunia karena itu buatan khusus, hanya berbeda warna saja. Dan setahuku, MP3 player dalam genggaman gadis itu adalah milik Kyuhyun.
“Apa itu milik Kyuhyun?” tanyaku tanpa berpikir.
Gadis itu mengernyit sesaat sebelum akhirnya mengangguk. “Dia menjatuhkannya tadi di bawah kursi kafe dan aku memungutnya. Aku berencana mengembalikan benda ini besok.”
“Biar aku saja yang mengembalikannya,” tawarku.
Dan membiarkanmu merusak rencanaku untuk berbicara langsung dengan Kyuhyun sunbae?
“Kau menyukainya, ya?” tanyaku dengan nada tidak suka.
“Memangnya apa yang kau harapkan? Aku menyukaimu?”
“Bisa tidak kau berhenti menggunakan nada sinis itu padaku?”
Dia tidak menjawab dan malah memasang headset ke telinganya, memainkan lagu dari MP3 pria yang disukainya itu. Dan tanpa tahu malu, aku merebut salah satu headset-nya dan memasangkannya ke telingaku sendiri.
Lagu Serenade yang awalnya hanya instrument tanpa lirik ciptaan Schubert dan dinyanyikan ulang oleh penyanyi seriosa Korea, Yoo Mi-Sook, mengalun pelan di telingaku. Aku tahu apa saja daftar lagu di playlist Kyuhyun. Diam-diam pria itu menyalin semua daftar lagu dari MP3 Hye-Na ke miliknya sendiri dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Tidak heran kalau dia selalu berusaha menjauhkan benda ini dari gadis kesayangannya itu.
“Kau baru saja berpikir bahwa kau ingin memindahkan semua lagu ini ke ponselmu, kan? Apa kau tahu kenapa Kyuhyun menyukai lagu-lagu ini?”
Dia menatapku dengan tatapan kesal, tapi aku melanjutkan ucapanku tanpa memedulikannya sama sekali.
“Karena Hye-Na menyukai lagu-lagu ini, makanya pria yang kau sukai itu juga menyukainya. Apa sekarang kau masih tertarik juga padanya?”
“Bukan urusanmu!” sergahnya tajam, tapi aku tahu bahwa dia mulai berpikir ulang tentang cintanya yang baru dimulai. Dia baru menyukai Kyuhyun hari ini, kan? Perasaannya jelas masih dangkal, dan aku bisa mengubah pikirannya segera. Dia harus mulai melihat ke arahku. Dan kemudian jatuh cinta padaku. Bukankah jika sudah ditakdirkan bersama, cinta juga termasuk di dalamnya?
***
HEE-KYUNG’S POV
I get the best feeling in the world when you say hi or even smile at me because I know, even if it’s just for a second, that I’ve crossed your mind.
Aku bergegas mempercepat langkahku saat melihat Kyuhyun sunbae yang berjalan ke arahku dengan wajah menunduk. Dia pasti baru mengantarkan Hye-Na ke kelas. Memangnya apa lagi yang dilakukan pria itu di gedung fakultasku kalau bukan itu?
“Sunbae,” panggilku sambil membungkukkan tubuh, menunjukkan sopan-santunku.
“Ne?” Dia menatapku lama dan kemudian berkata ragu. “Kau… pelayan di kafe kemarin, kan?”
Astaga! Apa dia baru saja mengatakan bahwa dia mengingat wajahku?
Aku mengangguk penuh semangat, sebelum teringat bahwa ada sesuatu yang harus kuberikan padanya.
“Ng… sunbae, kemarin kau menjatuhkan MP3 player-mu di kafe dan aku memungutnya. Ini.” Aku menyodorkan benda miliknya yang dari tadi terus-terusan kupegang. Dia melihat benda itu sesaat kemudian tersenyum.
“Gomaweo,” ucapnya sambil memasukkan MP3 itu ke dalam tasnya. Aigoo, apa tidak bisa sekali saja dia tersenyum? Wajahnya itu dingin sekali.
“Aku masih ada kuliah. Sampai jumpa,” pamitnya, dan pergi begitu saja. Lagi-lagi tanpa senyum, tidak melambai, dan tidak menoleh ke arahku sama sekali setelah dia berlalu. Yang kulihat malah Donghae yang baru saja muncul di koridor. Dia menyapa Kyuhyun sekilas dan melambai ke arahku dengan senyum lebar di wajah. Sebenarnya, dia itu terlihat kekanak-kanakan sekali. Semalam bahkan dia memaksa menemaniku sampai ke rumah, seolah dengan begitu dia bisa membuatku naksir padanya.
“KYUUUUUUUUUUUNG!!!” serunya sambil berlari menghampiriku.
Aish, nama panggilan macam apa itu? Membuatku malu saja!
“Jangan panggil aku seperti itu!” gerutuku. Langkahku langsung terhenti saat dia merangkul bahuku dengan tiba-tiba dan menarik tubuhku sampai menempel ke sisi tubuhnya.
“Apa-apaan kau?”
“Mau memamerkanmu.”
“APA?” seruku keras, membuat jumlah orang yang sudah menonton kami menjadi semakin banyak.
“Nah, jadi semua orang sekarang sudah tahu bahwa kau milikku dan aku juga milikmu.”
Aku mendengus dan memandangnya dengan tatapan bosan.
“Sejak kapan kau menjadi milik seseorang? Bukannya kau datang dan pergi kapan pun kau mau?”
“Sekarang tidak,” ucapnya dengan raut wajah yang tiba-tiba menjadi serius. “Aku tidak akan pergi sesukaku lagi,” lanjutnya. “Dan bukannya kau yang mau kabur dariku?” tukasnya dengan bibir cemberut.
Dan kenapa jantungku malah berdetak kencang? Tidak setia kawan sama sekali!
***
AUTHOR’S POV
Hee-Kyung mengaduk-aduk teh di depannya tanpa fokus. Konsentrasinya tercurah kepada dua orang yang duduk di sudut. Ini hari kelimanya mengambil shift siang, hari kelima dia menahan iri melihat kedua orang yang sama sekali tidak sadar bahwa mereka sedang diperhatikan itu.
Hye-Na sibuk mengalahkan lawannya di PSP yang sepertinya kuat sekali karena gadis itu tidak hentinya menggumam tidak jelas dengan nafsu membunuh terpancar dari matanya, sedangkan Kyuhyun memegang benda yang sama, hanya saja pria itu tidak memainkannya. Matanya terarah pada gadis di depannya itu, memandangi wajah gadis itu seolah itu adalah pemandangan terindah di dunia. Dan Hee-Kyung menyadari bahwa dia sudah kalah telak tanpa memulai pertandingannya, peringatan keras agar dia segera menghentikan perasaannya pada pria itu. Hanya lima hari, dan dia langsung menyerah.
Benar, memangnya apa yang bisa dia harapkan dari pria yang jelas sedang tergila-gila pada gadis lain?
“Kyuuuuuuuuuuuung!!!!”
Suara itu lagi.
Hee-Kyung membenamkan wajahnya ke lengannya yang terlipat di atas meja. Dia sepertinya mendengar suara itu dimana-mana, bahkan saat pria itu tidak ada di dekatnya. Benar-benar berisik! Sejak kapan namanya terdengar sejelek itu?
“Kyung Kyung Kyung! Annyeong!”
“Yak, Lee Donghae! Berhenti memanggil namaku seperti itu!”
Dia sudah kehilangan energi untuk menyuruh pria itu enyah sejak dua hari yang lalu. Pria itu selalu saja mengikutinya kemana-mana, menungguinya sampai pulang bekerja, kemudian naik bus bersamanya, mengantarnya sampai ke depan pintu rumah. Pria itu lebih bersikap seperti pesuruh yang patuh daripada seorang pria yang sedang berusaha mendapatkan cintanya.
“Berhentilah menatap Kyu,” ujaar Donghae sambil mencondongkan tubuhnya, menyejajarkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Hee-Kyung heran setengah mati bagaimana bisa pria itu merubah kepribadiannya dengan amat sangat mendadak. Satu detik yang lalu dia bertingkah kekanak-kanakan, satu detik kemudian dia malah terlihat begitu serius, seolah dia sedang menggantungkan hidupnya sendiri pada jawaban Hee-Kyung.
“Kau tidak bisa menatapku saja?”
Hee-Kyung merasakan wajahnya memanas mendengar ucapan pria itu. Dia mengumpat dalam hati, mengutuki ketidak-konsistenan saraf-saraf tubuhnya.
“Lagipula apa sih yang kau lihat dari pria dingin tanpa ekspresi seperti itu? Aku kan lebih tampan!”
Nah, lihat saja itu! Pikirannya langsung saja terbukti! Pria di depannya itu ajaib!
“Aku tidak ajaib! Aku kan hanya menyampaikan fakta!”
Satu keburukan lagi. Pria itu bisa membaca pikirannya, dan itu membuatnya kesal setengah mati! Seperti ditelanjangi di tempat umum. Dia harus berusaha keras untuk membenahi pikirannya. Dia tidak akan membiarkan pria itu tahu bahwa dia mulai sedikit, hanya sedikit, terbiasa dengan kehadiran pria itu. Terang saja, pria itu suka sekali muncul tiba-tiba, merecokinya, membuatnya kesal, kemudian menerbangkannya ke awang-awang. Dia….
“Kau mulai menyukaiku, ya?” seru Donghae dengan wajah berbinar-binar.
Aish sial, jangan bilang pikirannya berhasil dibaca pria itu lagi!
***
HEE-KYUNG’S POV
Aku memangku tanganku ke dagu dan menatap dosen yang sedang memberi penjelasan di depan dengan pandangan bosan. Sesekali tanganku bergerak untuk mencoret-coret kertas, membuat bentuk-bentuk aneh yang tidak beraturan.
Aku menatap Donghae yang duduk di sampingku dengan mata mendelik kesal saat sebuah kertas dengan sengaja dilemparkan ke atas mejaku. Dia tersenyum dan memberi tanda dengan tangannya agar aku membuka kertas itu.
Baik, anggap saja aku memang tidak ada kegiatan lain sehingga tidak keberatan membaca entah apa yang tertulis di kertasnya itu. Awas saja kalau dia mencoba merayuku lagi!
Should I compare you to a summer’s day?
Although you are much more lovely and gentle
(Haruskah aku membandingkanmu dengan hari-hari di musim panas?
Meskipun kau lebih indah dan lemah lembut)
Violent winds destroy the beautiful buds of the May flower
And summer is too short
Sometimes the sun shines too hot, and
Sometimes his glory is too bright that dims our visions
(Angin yang bengis memusnahkan kuncup-kuncup bunga di bulan Mei
Dan musim panas terasa begitu singkat
Terkadang matahari bersinar begitu panas, dan
Terkadang cahayanya terlalu menyilaukan sehingga menyuramkan penglihatan kita)
Normally beauty will fade because of the change of time and nature
But your beauty will not fade nor will you lose possession of your fairness
Death can’t boast that you’re wondering in his shadow
You will last forever with the lines of this poem
As long as men live or eyes can see,
This poem will exist and so will you
(Normalnya, kecantikan akan pudar digerus perubahan waktu dan sifat
Tapi kecantikanmu tidak akan memudar meskipun kau kehilangan kemudaanmu
Kematian tidak bisa membual bahwa kau berada dalam bayangannya
Karena kau akan bertahan selamanya di dalam barisan puisi ini
Selama manusia hidup atau selama mata masih bisa melihat
Puisi ini akan tetap hidup, begitu juga kau….)
Jadi… darimana pria itu tahu bahwa ini adalah puisi kesukaanku? Aku rasa aku tidak memikirkan apa-apa tentang puisi ini sejak aku bertemu dengannya, jadi mustahil jika pria itu membacanya dari pikiranku. Atau… hanya karena ini adalah musim panas?
Aku menoleh ke arahnya lagi dan kali ini dia membuat gerakan agar aku membalik kertas itu. Ada sebaris tulisan di belakangnya.
Wanna have a date? With me?
Dan aku tidak yakin apakah karena aku tersentuh membaca puisi yang dia tulis ulang dengan tangan, menunjukkan bahwa besar kemungkinan dia menyukai puisi itu juga sehingga menghapalnya di luar kepala, atau entah karena senyumnya yang manis, atau karena aku baru menyadari daya tariknya beberapa hari terakhir, sehingga aku menganggukkan kepala mengiyakan ajakannya.
***
AUTHOR’S POV
“Kau mau mengajakku kemana?” tanya Hee-Kyung penasaran. Dia membiarkan Donghae menggenggam tangannya, merasa aneh saat mengetahui bahwa dia menyukai cara pria itu menyentuhnya. Hati-hati dan sangat ringan, seolah-olah pria itu sedang mengetes reaksinya terhadap sentuhan pria itu di kulitnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang Lee Donghae terlihat tidak terlalu percaya diri seperti biasanya.
“Aku harus membelikan sepatu dulu untukmu.”
“Mwo?” seru gadis itu kaget. “Mian, tapi aku tidak bisa….”
“Tenanglah. Aku hanya ingin membelikanmu sepatu kets biasa. Sepatu yang kau pakai sekarang akan membuatmu kesusahan di tempat yang kita tuju nanti,” ucap pria itu menenangkan sambil menarik Hee-Kyung memasuki sebuah toko sepatu.
Donghae mendudukkan gadis itu ke atas kursi dan menghilang di balik rak-rak sepatu. Dia kembali beberapa saat kemudian dengan sebuah sepatu kets di tangannya. Pria itu berjongkok di depan Hee-Kyung dan melepaskan sepatu yang dipakai gadis itu dari kakinya. Dia kemudian memasangkan sepatu kets pilihannya dan mengikat tiap talinya dengan rapi.
“Aku tidak perlu membaca pikiranmu kan untuk tahu ukuran kakimu?” ucap pria itu sambil tersenyum lebar. “Tunggu sebentar disini. Aku akan membayarnya, lalu kita berangkat.”
***
If you love two people at the same time, choose the second one, because if you really loved the first one you wouldn’t have fallen for the second.
Pria itu membawanya ke pinggiran kota, tempat pemandangan masih terlihat begitu asri dan udara masih sangat segar untuk dihirup. Tempat itu merupakan wilayah perkebunan yang cukup luas dan Donghae membawanya ke bagian sebelah utara, area ladang kentang manis yang sudah siap untuk dipanen.
Mereka menghabiskan satu jam mengasyikkan dengan memetik kentang bersama, lalu beristirahat di rumah salah satu petani disana dan menikmati kentang manis rebus yang terasa begitu nikmat, sambil mempelajari cara membuat liontin kalung dari tanah liat. Selama menunggu kedua liontin itu kering, mereka pergi menangkap ikan ke danau untuk dimasak sebagai makan siang. Dan Hee-Kyung sama sekali tidak bisa mempercayai penglihatannya saat seorang Lee Donghae dengan semangat melipat lengan kemejanya sampai ke siku dengan celana jins yang sudah digulung sampai batas lutut, melompat masuk ke dalam air sungai yang begitu jernih, memperlihatkan pemandangan di bawah permukaannya. Donghae memegang sebuah tombak dari kayu yang sudah diruncingkan kemudian mulai berusaha menangkap ikan-ikan besar yang berenang disana. Pria itu gagal dalam beberapa kali percobaan, membuat Hee-Kyung tertawa keras sambil berseru mengejeknya.
“Lebih baik kau kesini daripada mengejekku terus! Kau mau makan siang tidak?”
Hee-Kyung tertawa geli dan melompat masuk ke dalam air, mencipratkan tetes-tetes air ke wajah dan tubuh Donghae sehingga pria itu mengeluarkan gerutuan kesal dan balas menghempaskan kakinya ke air, memberikan efek yang persis sama terhadap gadis itu. Mereka melakukan hal itu selama beberapa saat dan baru berhenti ketika seekor ikan besar berhasil ditangkap oleh Donghae. Pria itu memasang pose superior kemudian semakin percaya diri untuk menangkap buruan berikutnya. Kali ini hanya membutuhkan waktu lima menit saja untuk mendapatkan seekor ikan lagi.
Donghae meninggalkan Hee-Kyung untuk meminta kayu bakar dan bumbu-bumbu yang diperlukan untuk membakar ikan ke rumah petani yang mereka singgahi tadi, sedangkan gadis itu sibuk membersihkan dua ekor ikan yang sudah ditangkap Donghae tadi.
Mereka mulai sibuk mempersiapkan segala hal untuk membuat ikan bakar setelah Donghae kembali. Membutuhkan waktu satu jam lebih untuk menghasilkan masakan yang bisa mereka makan, sesuatu yang membuat rasa puas terpancar dari wajah mereka berdua.
“Itu masih panas,” seru Donghae. Terlambat, karena Hee-Kyung sudah memasukkan potongan ikan bakar itu ke dalam mulutnya. Langsung saja gadis itu membuka mulutnya lebar-lebar karena kepanasan, dan Donghae dengan refleks mengulurkan tangannya, memberi tanda agar Hee-Kyung meludahkan daging ikan itu ke telapak tangannya.
“Lidahmu bisa terbakar tahu!” gerutu pria itu sambil menyodorkan tisu dan sebotol air.
Hee-Kyung terpana melihat bagaimana pria itu memperlakukannya. Taanpa rasa jijik sedikitpun dan jelas kesal karena gadis itu membahayakan dirinya sendiri.
Dan saat itu… dia bisa melihat apa yang wanita lain lihat dari pria itu. Pria itu memang memiliki penampilan yang sangat mengagumkan, tapi caranya memperlakukan wanita yang disukainya jauh lebih mengagumkan lagi. Dan… dia tidak bisa memutuskan apakah dia akan menjadi wanita-wanita lain juga. Tergila-gila setengah mati pada seorang Lee Donghae.
***
Hee-Kyung menggerak-gerakkan kaki merasakan tekstur rumput yang terasa kesat di telapak kakinya. Dia berbaring sambil menghadap ke atas, ke arah langit yang terlihat cerah karena pancaran sinar matahari, menghirup dalam-dalam aroma familiar musim panas yang disukainya.
Donghae menoleh ke arah gadis itu, bertanya-tanya dalam hati apakah gadis itu masih ingat bahwa dia masih bisa membaca pikirannya, karena sepertinya gadis itu merasa bebas sekali, memikirkan hal-hal menyenangkan yang disukainya, seolah tidak keberatan jika Donghae bisa mengetahui semuanya.
Pria itu mengulurkan tangannya perlahan, merengkuh kepala gadis itu sampai berbaring di atas lengannya, kemudian menarik tubuhnya mendekat. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa, dan juga tidak memikirkan apa-apa, membuat rasa lega nyaris membludak di dada pria itu.
“Kyung~a…” panggilnya dengan nada pelan, terdengar sedikit ragu.
Gadis itu memalingkan wajah ke arahnya. Ada seulas senyum di bibir tipisnya. Senyum pertama yang diberikan gadis itu untuknya. Wajah cerah pertama yang diperlihatkan gadis itu untuknya. Dan saat itu… yang dipikirkannya hanyalah betapa berkilauannya gadis itu di bawah siraman cahaya matahari yang menusuk. Betapa gadis itu terlihat cantik di matanya, dan betapa yakinnya dia bahwa saat itu dia tidak butuh apa-apa lagi, dia tidak ingin mencari gadis lain lagi.
“Mmm?”
Kata itu terasa begitu berat untuk dikatakan, karena belum pernah diucapkannya kepada gadis manapun. Karena memang tidak ada gadis lain yang membuatnya berpikir untuk mengucapkannya. Dan saat ini, dia begitu ingin memberitahu gadis itu, bahwa untuk pertama kalinya ada seorang gadis yang membuatnya terpesona sampai nyaris gila, bahwa ada seorang gadis yang baru dikenalnya beberapa hari, tapi berhasil melintas di benaknya seperti bayangan menyebalkan yang tidak bisa diusir pergi. Bahwa ada gadis yang membuatnya berpikir tentang sebuah rancangan masa depan yang membutuhkan gadis itu sebagai pelengkapnya. Bahwa dia….
“Saranghae.”
Hee-Kyung mengerjapkan mata kaget. Dia menyukai ide pria itu untuk mengajaknya jalan-jalan. Dia juga menyukai cara pria itu memperlakukannya. Tapi saat pria itu mengucapkan kata tersebut, dia jadi mempertanyakan perasaannya sendiri.
Apa semudah itu? Apa secepat itu?
Dia tidak bisa menjawab, tapi yang ada di pikirannya saat itu … bagaimana pria itu hanya membutuhkan waktu satu hari untuk membuat Hee-Kyung menyukainya. Dan satu kata untuk membuat gadis itu jatuh cinta.
***
Mereka berdua menghentikan langkah di depan pagar rumah Hee-Kyung. Donghae dengan sengaja memarkirkan mobilnya di dekat halte yang berjarak 10 menit berjalan kaki dari rumah Hee-Kyung agar dia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan gadis itu. Dan anehnya, gadis itu tidak berusaha mendebatnya sama sekali.
Donghae mengusap tengkuknya salah tingkah dan menatap gadis itu dengan wajah memerah. Astaga, sejak kapan dia menjadi hilang akal begini hanya karena seorang gadis?
“Ng… apa kau keberatan memakai kalung ini?” tanya pria itu ragu sambil menyodorkan sebuah kalung hasil karyanya di perkebunan tadi. Ada tulisan “HAE” di liontin kalung itu, hal yang dari tadi disembunyikannya dari gadis itu, menolak keras saat gadis itu berniat mengintip apa yang dibuatnya. “Aku punya satu lagi. Tulisannya “Kyung”. Maksudku… ng… kalau kau tidak keberatan.”
Hee-Kyung tersenyum dan mengambil kalung itu cepat dari genggaman Donghae, sebelum pria itu berubah pikiran.
“Gomaweo,” ucapnya sambil memandangi kalung itu lekat-lekat. “Aku pasti akan memakainya.” Kalung itu memang indah sekali, dan dia selalu suka benda buatan sendiri.
Tubuh gadis itu sedikit menegang saat merasakan jari Donghae menyentuh dagunya dan wajah pria itu semakin mendekat. Dia bisa saja mendorong pria itu menjauh, tapi seluruh otot tubuhnya berubah kaku dan otaknya kosong tiba-tiba, berada di luar fungsi kerjanya.
Hee-Kyung merasakan nafasnya tercekat di kerongkongan saat bibir Donghae hanya berjarak seinci dari bibirnya, tapi kemudian pria itu tersenyum, sedikit menegakkan tubuhnya, dan menyapukan sebuah kecupan singkat di pipi kirinya.
Wae? Aku bahkan 100% yakin bahwa dia benar-benar ingin menciumku, tapi….
Donghae tersneyum saat mendengar pikiran Hee-Kyung menggema di kepalanya. Dia menyentuh pipi yang tadi dikecupnya dalam sebuah sentuhan yang sangat ringan, merasakan dinginnya kulit wajah gadis itu.
“Aku tidak akan memperlakukanmu sama seperti gadis lainnya. Aku ingin menjagamu baik-baik,” ucapnya sambil menaikkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Hee-Kyung, kemudian mendorong tubuh gadis itu ke dekat pagar.
“Masuklah,” suruhnya. “Dan sampai jumpa besok… Kyung.”
***
“Kau yakin?”
Donghae mengangguk, memutar-mutar gelas berisi air putih di depannya.
“Kenapa tiba-tiba?” tanya ayahnya heran.
“Aku… hanya ingin memperbaiki diri,” jawabnya singkat.
“Untuk gadis itu?”
“Appa sedang menggodaku?” tukasnya dengan nada suara yang tiba-tiba berubah sengit.
Ayah Donghae tertawa dan mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk punggung pria itu.
“Kenapa tidak disini saja? Kenapa harus keluar negeri? Kau kan juga bisa belajar menjadi pria baik-baik disini.”
Donghae tidak menjawab, seolah sedang berpikir. Tangannya bergerak mengangkat gelas yang tadi asyik dimainkannya dan membawanya ke bibir, meminum isinya sampai tandas.
“Aku hanya ingin tahu perasaannya. Jika aku meninggalkannya cukup lama, apa dia bersedia menungguku? Aku bahkan tidak tahu apakah dia mencintaiku atau tidak.”
“Kau tidak mempercayai kemampuanmu sendiri?” tanya ayahnya kaget.
Donghaae menggeleng lemah. “Khusus gadis ini, aku kehilangan seluruh kepercayaan diriku, appa.”
***
DONGHAE’S POV
“Oke, hari ini kita akan adakan ujian akhir. Saya sengaja tidak memberitahu kalian semua karena ingin mengetes sejauh apa kemampuan kalian dan apakah kalian merasa perlu untuk belajar meskipun tidak ada kuis ataupun ujian. Letakkan semua tas ke depan dan hanya pena saja yang ada di atas meja.”
Aku menatap gusar ke arah pintu kelas. Dimana gadis itu? Sudah lewat 10 menit setelah kelas dimulai dan gadis itu tidak tampak dimanapun. Dan aku rasa gaadis itu bukan jenis orang yang suka datang terlambat. Apa terjadi sesuatu? Apa gadis itu sakit sehingga dia tidak masuk kelas?
Aku memandang kertas soal di depanku dan mulai mencurahkan konsentrasi untuk menjawab soal. Tapi otakku masih saja memikirkannya. Apa seharusnya memang begini? Apa aku punya hak untuk mencemaskannya sebanyak ini?
Aku mendongak cepat saat mendengar pintu kelas terbuka dan bernafas lega melihat Hee-Kyung-lah yang datang. Gadis itu menarik nafas dengan terengah-engah dan membungkuk meminta maaf kepada Soo-He. Dia sedikit terbelalak saat melihat kertas yang disodorkan Soo-He ke arahnya. Pasti gadis itu syok saat mengetahui bahwa dia baru saja datang terlambat dan harus menghadapi ujian mendadak yang tidak diharapkannya.
Astaga, bagaimana ini? Apa yang harus kuiisi di kertas ujianku? Otakku hanya penuh dengan bayangan kondisi ibu sekarang. Bagaimana mungkin ada ujian mendadak? Aish!
Tanganku terhenti di udara saat mendengar pikirannya. Juga bayangan-bayangan samar tentang percakapannya dengan ayahnya semalam. Ibunya masuk rumah sakit karena kecelakaan dan berada dalam kondisi cukup kritis karena kehabisan darah, sedangkan dia tidak bisa ke Busan mengingat pekerjaan dan jadwal kuliahnya yang cukup sibuk. Apalagi ayahnya juga melarangnya untuk pulang ke Busan dan menyuruhnya agar tidak terlalu menngkhawatirkan kondisi ibunya. Aku bisa membayangkan betapa sakitnya kepala gadis itu sekarang.
Aku menunduk menatap kertas jawabanku yang sudah separuh terisi, tahu bahwa kertas jawaban gadis itu belum terisi sedikitpun karena dia hanya bisa menatapnya bingung, tidak tahu harus mengisi apa.
Dengan sekali gerakan aku mencoret nama di bagian atas kertas ujianku dan memikirkan cara agar aku bisa mendapatkan kertas ujian Hee-Kyung untuk melakukan hal yang sama. Di tengah pikiran itu, aku membaca barisan soal yang belum kukerjakan dan menuliskan jawabannya dengan lancar.
Nah, seharusnya gadis itu akan lulus kelas ini dengan mudah.
***
Aku berjalan dengan kedua tangan terbenam di saku celana, sesekali membungkuk ke arah gadis-gadis yang menyapaku, tanpa berniat meladeni mereka sama sekali. 5 hari yang lalu, pasti aku akn mengajak mereka mengobrol dengan senang hati, tapi sekarang… aku bahkan tidak tahu kenapa aku mau menghabiskan waktu untuk membicarakan hal tidak penting dengan mereka semua. Lebih kasarnya lagi, aku tidak tahu dimana letak otakku sehingga bisa merasa tertarik pada mereka. Memalukan!
“Sunbaenim.”
Aku berbalik saat mendengar sebuah suara memanggilku. Seorang mahasiswa yang sekelas denganku di kelas Puisi tadi. Dia pasti sepantaran dengan Hee-Kyung. Siapa namanya? Seung-Hwan? Aku tidak yakin. Otakku hanya bekerja cepat untuk para gadis saja dan namja itu jelas tidak masuk daftar.
“Ne?”
“Seung-Hwan imnida.” Nah, memori otakku lumayan, kan?
“Soo-He songsaengnim memintaku mencari sunbae dan Hee-Kyung lalu menyuruh kalian menemuinya di ruang kerjanya segera.”
Aku mengerutkan kening. Cepat juga Soo-He menyadari bahwa tulisankulah yang ada di kertas ujian bertuliskan nama Hee-Kyung dan sebaliknya. Aku seharusnya mempertimbangkan ketelitian gadis satu itu.
“Baik, aku akn menemuinya.”
Seung-Hwan tersenyum dan membungkuk, berniat pergi saat tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Hei… bisakah kau tidak usah memberitahu Hee-Kyung? Biar aku saja yang mencarinya.”
“Ne, sunbae. Arasseo.”
Seharusnya gadis itu tidak tahu apa yang sudah aku lakukan. Kadang-kadang aku tidak yakin perbuatanku yang mana yang tidak akan membuatnya marah.
***
Aku memutar-mutar kursi yang kududuki dengan kedua tangan terbenam di saku jaketku, bosan. Pintu ruangan terbuka sekitar satu menit kemudian dan Soo-He masuk diiringi dengan siulan pelan dari bibirku. Dia mendelik sesaat tapi segera memperbaiki ekspresi wajahnya lagi, membuatku terkekeh dalam hati. Aku selalu bisa menggodanya kapanpun, dengan cara apapun. Membuatnya, yang terkenal tegas dan dingin, menjadi hilang kontrol.
“Lee Donghae ssi, aaku rasa kau harus menunggu beberapa saat lagi. Aku akan menjelaskan kenapa aku memanggilmu kesini setelah Cho Hee-Kyung bergabung dengan kita.”
“Tidak perlu. Kyung tidak akan datang.”
“Apa maksudmu?”
“Aku melarang Seung-Hwan memberitahunya. Jadi hanya aku saja yang datang,” ucapku santai.
“Kau tidak punya hak melakukan itu!” serunya kesal.
“Sudahlah, tidak perlu marah. Aku tahu kenapa kau memanggil kami dan aku rasa dia tidak perlu tahu,” ujarku, kali ini menegakkan tubuh dan menatap wanita itu serius. “Ibunya sakit dan yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya dia bisa pulang ke Busan. Dia datang terlambat hari ini dan sedang banyak pikiran lalu kau juga memberikan ujian tiba-tiba di kelas, tentu saja dia tidak bisa berkonsentrasi dan mengerjakan soal ujiannya dengan baik. Padahal kau tahu kan kalau dia cukup pintar di kelas?”
“Tapi itu bukan berarti kau bisa menulis namanya di kertas ujianmu dan mengganti kertas ujiannya agar dia bisa mendapat nilai bagus sedangkan kau sendiri gagal!” semprotnya.
“Soo-He ssi,” potong Donghae. “Saat melakukannya tentu saja aku tahu konsekuensi apa yang harus aku dapat dan aku sama sekali tidak keberatan.”
“Kau tidak keberatan mengulang kelas yang sama tiga kali?”
Aku mengangkat bahu tak peduli. “Bisa saja, kalau kau tidak keberatan untuk mengajarku lagi. Tapi tidak, tidak perlu. Aku tidak akan mengulang lagi. Lagipula, aku akan melanjutkan kuliah di luar negeri.”
Aku memperhatikan bagaimana dia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan pandangan lekat ke wajahku
“Kau benar-benar serius, ya?”
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Kau tidak pernah memanggil gadis manapun dengan panggilan kesayangan, Hae~ya. Kau bahkan tidak pernah memanggil kekasihmu sendiri dengan panggilan informal, kau selalu memanggil mereka dengan embel-embel ssi. Kau memanggilku Soo-He ssi, bukan Soo-He~ya. Dan aku tahu itu tidak ada hubungan dengan umurku yang lebih tua darimu. Satu-satunya yang tidak kau panggil seperti itu hanya Hye-Na, dan itu karena dia adalah sahabatmu. Lalu bertambah satu gadis lagi. Gadis yang kau panggil Kyung. Dan… dia satu-satunya gadis yang berhasil membuatmu bertahan selama lebih dari satu minggu. Apa aku salah?”
Aku mengerjap dan tanpa sadar tersenyum.
“Kau tahu sesuatu tentang takdir?” gumamku, membiarkan tanganku membentuk pola-pola tak kasatmata di atas meja kerjanya. “Ini sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan, tapi… aku sudah memutuskan untuk tidak mencari gadis lain lagi.”
“Jadi kenapa kau harus melanjutkan kuliah ke luar negeri jika gadis itu ada disini?”
“Karena aku harus mempersiapkan diri dengan baik sebelum melamarnya. Aku ingin menjadi pria yang baik, pintar, dan cukup pantas untuk mendampinginya. Aku harus memperbaiki diri dulu. Jika sudah berhubungan dengannya, aku tidak cukup percaya diri, kau tahu?”
***
HEE-KYUNG’S POV
Aku mempercepat langkahku menuju ruangan Soo-He songsaengnim. Aku tahu ujianku tadi jelek sekali dan aku berharap dia bersedia memberiku ujian susulan. Aku harus menjelaskan sebisaku dan tinggal berharap seandainya dia mau berbaik hati dan memahami keadaanku.
Aku berhenti di depan ruangannya dan bermaksud mengetuk pintu saat aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang berbicara di dalam. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka, jadi aku sedikit mengintip di celah pintu yang terbuka dan langsung terpaku di tempat di detik yang sama.
Pria itu sedang berpelukan dengan Soo-He songsaengnim! Pria yang seminggu terakhir tanpa henti mengejarku dan telah berhasil membuatku mempercayainya saat ini sedang berpelukan dengan dosenku sendiri. Dan aku bisa menebak apa hubungan mereka. Banyak gosip tentang kedekatan mereka berdua, tapi tidak pernah ada bukti. Tidak perlu ada bukti, karena sekarang aku sudah melihat mereka berdua dengan mata kepalaku sendiri.
Aku sedikit menghentakkan pintu, cukup untuk membuat mereka tersadar dan dengan terburu-buru memisahkan diri. Aku menatap lekat ke arah Donghae yang tampak terpana sebelum akhirnya aku berlalu pergi dan menghempaskan pintu sampai tertutup.
Baik, seharusnya aku tidak dengan bodohnya mempercayai pria dengan imej sangat buruk seperti itu. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang Lee Donghae. Pria itu benar-benar sudah tidak bisa terselamatkan lagi.
***
DONGHAE’S POV
“Kapan kau akan berangkat?”
“Besok siang. Ayahku sudah menyiapkan semuanya, jadi aku tinggal berangkat saja.”
“Kau pasti belum memberitahu gadis itu, kan?”
Aku menggeleng.
“Aku tidak tahu alasan apa yang harus aku berikan padanya.”
“Kenapa kau tidak mengatakan alasan yang sebenarnya saja?”
Aku tertawa dan menggeleng lagi. “Dia bukan jenis gadis yang akan senang mendengar alasan seperti itu. Aku bahkan tidak tahu harus memberikan rayuan seperti apa lagi agar dia jatuh cinta padaku.”
“Jadi ada juga gadis yang tidak jatuh pada rayuan seorang Lee Donghae?” ejek Soo-He. Ada senyum geli yang bermain di sudut bibirnya.
“Tidak usah mengejekku!” dengusku sambil bangkit berdiri.
“Kau sudah mau pergi?” tanyanya cepat.
“Kenapa? Apa songsaengnim merasa sangat merindukanku?” godaku, terkekeh geli melihat raut wajah kesalnya.
“Jadi kau akan pergi besok? Berapa lama?” tanyanya, mengabaikan godaanku.
“Satu tahun. Aku akan menyelesaikan kuliahku disana.” Aku sedikit merentangkan tanganku, memberi tanda bahwa aku tidak akan merasa keberatan jika dia menginginkan pelukan perpisahan.
“Anak kecil, kau benar-benar pintar merayu!” gerutunya sambil menyelusup ke dalam pelukanku.
“Kau kan pernah jatuh cinta pada anak kecil ini. Dan Soo-He ssi, kita hanya berbeda 5 tahun.”
Aku berbalik saat mendengar suara aneh di pintu dan langsung terbelalak saat melihat siapa yang sedang berdiri disana.
Sial. Sial. Dia pasti salah paham.
***
Aku menatap Hae-Yeon dengan sorot mata memohon, tapi gadis itu menggeleng dan aku tahu bahwa aku tidak akan bisa bertemu Hee-Kyung sama sekali.
“Tolonglah sunbae, dia tidak akan mau keluar selagi kau masih disini dan kau bisa melihat bahwa kami sedang banyak pelanggan. Kami bisa kesusahan.”
Aku memandang ke arah pintu tertutup di belakang gadis itu dan mengangguk lesu.
“Bisa tolong berikan ini padanya?” tanyaku sambil menyodorkan sebuah amplop.
“Akan aku coba.”
Aku tahu tatapan prihatin yang diberikan gadis itu padaku mendadak membuatku merasa kesal, tapi aku tidak memedulikannya, dan tanpa mengatakan apa-apa lagi berjalan keluar dari kafe. Jelas gadis itu tidak akan mau bicara padaku sama sekali dan mustahil aku bisa membuatnya memaafkanku dalam waktu kurang dari satu hari, jadi percuma saja jika aku memaksa.
Aku membuka pintu mobil dan menunduk masuk, menghempaskannya lagi sampai tertutup. Masih ada satu hal lagi yang harus aku lakukan. Dan sebaiknya aku bergegas.
***
“Selamat malam, Bibi,” sapaku sambil meletakkan karangan bunga yang kubawa ke atas meja. Aku berjalan menghampirinya dan menyalami tangannya dengan sopan. Tangan itu sudah sedikit keriput dan sering digunakan untuk bekerja. Tangan seorang ibu.
Aku menatap wajahnya lekat, melihat sisa-sisa kecantikan di wajah yang sudah kelelehan dan menua itu. Wanita itu masih terlihat cantik, dan tampak sangat mirip dengan anak perempuannya.
Aku tersenyum saat melihat raut wajahnya yang kebingungan.
“Namaku Lee Donghae,” ucapku memperkenalkan diri. “Aku teman Hee-Kyung.”
Wanita itu menatapku sesaat sebelum akhirnya tersenyum dan menepuk-nepuk sisi ranjangnya, menandakan bahwa dia ingin aku duduk disana.
“Apa anakku baik-baik saja? Kau sendirian? Dia tidak bersamamu?”
Aku menggeleng dan menangkupkan kedua tanganku di atas tangannya.
“Hee-Kyung baik-baik saja. Dia hanya sibuk bekerja dan besok masih harus kuliah. Tapi aku rasa akhir minggu dia akan pulang ke Busan dan menjengukmu.”
Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Wajahnya tampak begitu keibuan. Sudah berapa tahun berlalu sejak aku terakhir kali menatap ibuku? Kalau dia masih hidup, dia pasti akan terlihat secantik wanita ini. Tidak, ibu pasti lebih cantik. Tapi dia juga akan memiliki raut wajah kelelahan seperti ibu Hee-Kyung. Dia pasti tidak akan menyukai sifatku dan akan hidup menderita karenanya.
Aku mendengus dalam hati. Apa di saat-saat seperti ini aku baru menyadari betapa buruknya sikapku selama ini?
“Bibi dengar, ada seseorang yang mendonorkan darahnya untuk Bibi. Apa itu kau?”
“Tidak usah dipikirkan,” ujarku, menolak untuk menjawab.
“Apa Paman tidak menginap disini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Ibu Hee-Kyung tampaknya mengerti ketidaknyamananku sehingga dia menggeleng dan mengusap punggung tanganku lembut.
“Tidak. Bibi menyuruhnya pulang supaya dia bisa istirahat. Dia sudah kelelahan sesudah bekerja seharian, jadi Bibi tidak akan mau merepotkannya dengan menyuruhnya menunggui Bibi disini.”
“Apa aku boleh menginap disini?” tanyaku hati-hati. “Sudah cukup larut untuk pulang ke Seoul dan aku rasa aku akan kesulitan jika mencari hotel sekarang.”
“Tentu saja boleh,” sahutnya cepat. “Tapi mungkin kau akan sedikit tidak nyaman. Kasur untuk keluarga pasien tidak terlalu empuk.”
“Tidak apa-apa.”
“Jadi, apa kalian sedang bertengkar?” tanyanya tiba-tiba.
“Ne?” sahutku tak mengerti.
“Kalau kalian tidak bertengkar Hee-Kyung pasti sudah memaksamu untuk mengajaknya kesini.”
“Kami memang bertengkar,” ucapku malu. “Tapi sepertinya Bibi salah paham. Aku bukan pacarnya atau apapun yang Bibi pikirkan.”
“Baiklah,” ucapnya, jelas sedang menggodaku. “Tapi sepertinya kau tertarik pada anakku.”
“Eh… itu….” Aku tersenyum salah tingkah sambil mengusap tengkukku malu.
“Tidak apa-apa. Santai saja. Bibi tidak akan keberatan memiliki menantu tampan dan baik hati sepertimu.”
“Aku bukan pria baik-baik, Bibi,” potongku dengan raut wajah serius.
“Tentu saja kau pria baik-baik. Kalau tidak, kau tidak akan berada disini sekarang,” ujarnya sambil mengibaskan tangan. “Jadi beritahu aku, apa kau akan menjaga anakku baik-baik?”
Aku terdiam sesaat mendengar pertanyaannya. Aku pasti akan menjaga gadis itu baik-baik, tapi aku juga tidak mau mengucapkan janji yang mungkin tidak bisa kutepati.
“Aku tidak bisa menjaganya untuk satu tahun ke depan,” ucapku perlahan, mencoba membaca raut wajah wanita di depanku. Tapi wajah itu nyaris tanpa ekspresi, persis seperti wajah yang selalu diperlihatkan Hee-Kyung padaku. “Tapi… selewat satu tahun, aku akan kembali,” lanjutku, mulai merasa percaya diri. “Dan memintanya menikah denganku.”
***
HEE-KYUNG’S POV
Aku membolak-balik buku di pangkuanku tanpa minat. Aku melakukan hal yang sama selama lima menit kemudian sebelum akhirnya menyerah dan menghempaskan buku itu sampai tertutup, meletakkannya ke atas bangku kosong di sampingku. Aku menoleh ke sekeliling dan memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang di kejauhan.
Kampus terlihat cukup indah dengan mekarnya bunga-bunga cherry blossom dan petak-petak mawar di taman. Dan aku memilih menjauh dari keramaian mahasiswa yang duduk-duduk santai di atas rerumputan, menyudut di bagian utara kampus, duduk di atas kursi besi di bawah sebuah pohon maple, menikmati kesendirianku. Tapi hanya sebentar, karena aku mendengar sebuah suara yang menyapaku dan suara gerakan seseorang yang mengambil tempat disampingku.
“Bisa kita bicara?”
Aku menoleh dan mendapati Soo-He songsaengnim-lah yang telah mengajakku bicara. Mendadak aku merasakan serbuan kebencian saat melihatnya, tapi aku menahan diri dan mengangguk sesopan yang aku bisa.
“Apa kau sudah tahu bahwa Donghae telah berangkat keluar negeri?”
Aku mengangguk, tidak berniat mengeluarkan suara sama sekali.
Pria itu kabur. Itu yang ada di pikiranku saat mendapat kabar tentang kepergiannya. Setelah mengejarku, mencampakkanku, dia kemudian pergi keluar negeri. Ironis sekali. Setidaknya dia pasti juga akan tetap membuangku kemarin walaupun aku tidak memergoki adegannya dengan wanita di sampingku ini.
“Kau tahu kenapa dia pindah keluar negeri?”
Apa sebenarnya yang mau dibicarakan wanita ini?
“Tidak,” jawabku singkat.
“Karena kau.”
Nah, jawaban macam apa itu? Biar kutebak, pria itu tahu bahwa aku sudah jatuh cinta padanya dan merasa bahwa akan sangat sulit menghindar dariku, jadi dia mengambil tindakan nekat dengan pindah keluar negeri.
“Dia merasa bahwa dia bukan pria baik-baik yang pantas untuk mendampingimu, jadi dia memutuskan pindah keluar negeri untuk menamatkan kuliahnya dengan serius dan memperbaiki kepribadiannya. Dia ingin kembali setahun lagi sebagai pria yang pantas untukmu.”
“Apa?” seruku syok, merasa bahwa ada yang bermasalah dengan pendengaranku barusan. Atau wanita inilah yang sudah gila.
“Kau tahu apa yang dilakukannya kemarin?” tanya Soo-He, mengabaikan keterkejutanku. “Dia tahu bahwa kau tidak bisa mengerjakan ujian dengan baik, karena itu dia mengambil kertas ujianmu dan mengganti nama kalian. Jadi kertasmu yang nyaris kosong diganti dengan kertas ujiannya yang terisi penuh, sehingga kau lulus dengan nilai memuaskan sedangkan dia sendiri gagal. Itulah mengapa aku memanggilnya ke kantorku kemarin.”
“Aku akui, kami berdua memang sempat menjalin hubungan. Tapi semuanya sudah berakhir. Dan kemarin kami berpelukan hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku kesini untuk memberitahumu bahwa kau salah paham terhadapnya.”
“Kau yakin mau melepaskan pria sepertinya begitu saja? Dia sudah berubah dan kali ini, aku bisa jamin bahwa dia tidak ada rencana untuk mencampakkanmu seperti wanita-wanita lainnya. Apa kau tidak bisa memaafkannya?”
***
“Dia kesini, kau tahu? Dia tampan sekali dan yang lebih penting adalah dia mendonorkan darahnya untuk eomma. Dan dia sangat mencintaimu. Kau akan menyesal seumur hidup kalau melepaskan pria seperti itu begitu saja! Eomma tidak membesarkanmu untuk menjadi wanita yang seperti itu, kan?”
“Dan dia memanggilmu Kyung. Setahuku satu-satunya gadis yang mendapat panggilan kesayangan darinya hanya Hye-Na dan Hye-Na hanya sahabatnya. Jadi kau pasti berbeda. Dari awal aku sudah tahu ada yang berbeda dari caranya menatapmu.”
“Donghae oppa sepertinya sangat mencintaimu. Ah bukan, dia memang mencintaimu. Kau buta ya sampai tidak bisa melihatnya, onnie?”
“Dia meninggalkan surat ini untukmu. Dan aku tidak akan mau berbicara denganmu lagi sebelum kau membacanya. Aku saja sedih melihatnya tanpa semangat begitu, kau pasti tidak punya perasaan sampai tidak mau berbicara padanya.”
“Kau yakin mau melepaskan pria sepertinya begitu saja? Dia sudah berubah dan kali ini, aku bisa jamin bahwa dia tidak ada rencana untuk mencampakkanmu seperti wanita-wanita lainnya. Apa kau tidak bisa memaafkannya?”
Aku menyandarkan kepalaku ke jendela bus dan merasa bahwa kepalaku bisa meledak sebentar lagi jika ucapan-ucapan itu tidak berhenti mewabah. Sial, apa seluruh dunia sedang melawanku sekarang?
Aku meraih tas di pangkuanku, membuka resletingnya, dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang masih tersampul rapi, kemudian merobek ujungnya hati-hati, mendapati ada dua helai kertas di dalamnya. Aku membuka lipatan surat pertama dan mulai membaca.
Untuk Kyung, gadis musim panas….
Aku selalu bertanya-tanya kenapa baru musim panas kali ini aku bertemu denganmu? Kenapa aku tidak pernah mau masuk ke kelas Puisi agar setidaknya kita bisa lebih cepat bertemu? Atau… mengapa musim panas tahun-tahun sebelumnya kau tidak mengambil shift siang? Kenapa kita tidak bertemu 5 tahun yang lalu saat aku baru berumur 17 tahun? Saat aku mendapatkan kekuatanku?
Aku sudah mendapatkan jawabannya. Mudah saja. Aku… kau… terikat dalam satu lingkaran takdir. Seperti bumi yang berevolusi mengelilingi matahari atau bulan yang berotasi melingkari bumi. Seperti setiap hal yang sudah memiliki takdirnya masing-masing, akan seperti apa, akan jadi apa, akan berguna untuk apa. Kau… aku… juga memiliki takdir sendiri-sendiri yang kebetulan terkait satu sama lain. Jadi kapan kita bertemu, itu juga permainan takdir.
Saat menyadari bahwa aku bisa membaca pikiranmu, saat aku tahu alasan kenapa aku hanya bisa membaca pikiranmu saja, aku mulai menyesali setiap hal yang telah kulakuakn dalam hidup. Hal baik apa yang sudah aku lakukan sehingga aku memiliki takdir gadis baik-baik sepertimu? Hal sangat buruk apa yang sudah kau lakukan sehingga harus menderita mendapatkan takdir sepertiku?
Hari itu, aku memperhatikanmu seharian, mempelajari gadis seperti apa kau sebenarnya. Saat itu aku mulai berpikir bahwa betapa tidak pantasnya aku jika memutuskan untuk mulai mengejarmu. Tapi aku juga tahu bahwa aku memang harus membuatmu jatuh cinta padaku, karena selama apapun dan kemanapun aku mencari, aku tidak akan menemukan wanita lain lagi. Wanita itu harus kau. Kemudian aku mengejarmu.
Apa aku menyebalkan? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menarik perhatianmu karena jelas kau tidak akan termakan rayuanku seperti gadis-gadis lainnya. Aku perlahan-lahan mulai memperbaiki kepribadianku, berusaha menjadi pria baik-baik. Awalnya aku rasa aku akan gagal, tapi ternyata itu cukup mengasyikkan. Menjadi diri sendiri, sekaligus menjadi pria yang baik untukmu terasa sangat menyenangkan.
Tapi itu belum cukup, Kyung~a. Aku ingin terlihat lebih sempurna lagi untukmu. Aku ingin menjadi pria pintar yang berhasil menamatkan kuliahku tepat waktu, bukannya berkeliaran kesana kemari dan tidak pernah muncul di kelas. Aku berhenti melirik wanita lain, bersikeras ingin melihatmu saja. Aku ingin menjadi pria mandiri yang bisa bekerja dan mendapatkan uang untuk menghidupimu. Aku ingin menjadi pria yang baik, suami yang baik, pasangan yang pantas. Karena itu aku memutuskan pergi ke luar negeri.
Kau tahu kenapa aku tidak pernah berusaha menyentuhmu? Karena aku sangat ingin menjagamu baik-baik. Kau lebih istimewa daripada wanita manapun, jadi kau juga harus diperlakukan isstimewa.
Mungkin saat ini kau masih membenciku, tapi aku harap, satu tahun cukup untuk memperbaiki kesalahanku. Aku harap aku cukup berharga untuk kau tunggu. Hanya satu tahun. Dan setelah itu… aku akan kembali padamu. Kita akan menikah, membangun keluarga, dan aku pasti akan membuatmu bangga.
Aku mencintaimu, Kyung~a. Dan aku tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk berpikir bahwa kau juga menginginkanku.
-Donghae-
Aku menarik nafas dengan susah payah dan dengan tangan yang gemetaran membuka lipatan surat berikutnya.
If love be beaten by difficulties, don’t let me be in love
Love is not love if it changes when meeting alteration
Or be defeated by situation
(Jika cinta bisa terpukul mundur oleh kesulitan, jangan biarkan aku jatuh cinta
Cinta bukanlah cinta jika bisa berubah saat bertemu dengan perbedaan
Atau terkalahkan oleh keadaan)
Oh, no! Love is an everlasting mark
When love faces the violent storm, it will not be shaken
Love is the star to every wondering ship
Although they don’t know the real value of love,
Still, like the ship, they will always follow the star
(Tidak! Cinta adalah pertanda keabadian
Saat cinta berhadapan dengan badai yang hebat, dia tidak akan terguncang sedikitpun
Cinta adalah bintang untuk setiap kapal yang tersesat
Meskipun mereka tidak tahu kebenaran akan cinta itu sendiri
Tetap saja, seperti kapal, mereka akan selalu mengikuti bintang)
Love will not be fooled by time,
But beauty and youth cannot escape from time
Love will never change with the short time,
Even till the end of the world
If I am wrong and being proved on,
I have never written this poem nor did any men have ever been in love
(Cinta tidak akan dibodohi oleh waktu
Tapi kecantikan dan masa muda tidak bisa melarikan diri dari sang waktu
Cinta tidak akan pernah berubah dalam jangka waktu singkat
Bahkan sampai akhir dunia
Jika aku salah dan terbukti salah
Aku tidak akan pernah menulis puisi ini dan manusia di bumi tidak akan pernah jatuh cinta)
(William Shakespeare – Let Me Not To The Marriage of True Minds)
Pria itu benar-benar sedang merayuku habis-habisan, ya? Ah, tidak, tidak perlu merayuku juga. Aku kan memang sudah jatuh cinta padanya.
Jadi aku harus menunggu satu tahun? Cukup adil jika dia menjadi hadiah penutupnya.
***
1 year later…
HEE-KYUNG’S POV
Musim panas tahun ini masih seperti biasa. Hujan kadang turun tiba-tiba tanpa bisa diprediksi, tapi selebihnya Seoul masih secerah biasanya.
Tentu saja ada yang berbeda. Dia tidak ada. Masih tidak kasatmata.
Aku melangkah turun dari bus dengan tangan yang menyelip di antara tali tasku. Aku sedikit menghirup nafas, merasakan sengatan matahari tepat di wajah, dan berjalan melewati orang-orang yang melangkah cepat ke arah yang berlawanan. Ada banyak orang yang memakai masker, mengingat musim panas adalah puncak dimana jumlah korban alergi serbuk bunga meningkat pesat.
Aku menghabiskan 3 jam shift kerja siangku dengan berjalan bolak-balik menyambut setiap pelanggan yang datang, menyapa mereka dengan ramah, dan membawakan pesanan mereka. Kegiatan rutinku setiap hari.
“Hei, datangi pelanggan yang baru datang sana!” suruh Hae-Yeon sambil menyikut lenganku, padahal aku baru saja istirahat untuk pertama kalinya selewat 3 jam. Dan tulang-tulangku nyaris remuk kelelahan.
“Kenapa harus aku? Kenapa tidak kau saja?”
“Kau saja! Kau pasti akan senang melihat pria setampan itu.”
“Aku tidak tertarik,” ucapku dingin sambil meraih buku menu dari atas meja dan pergi ke meja di sudut tanpa berkata apa-apa lagi pada Hae-Yeon.
“Selamat siang, Tuan. Apa Anda sudah siap untuk memesan?” tanyaku sambil membungkuk sopan. Pria itu sedikit menunduk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya, hanya saja… aroma tubuhnya terasa familiar sekali. Seperti…. Astaga, aku harus benar-benar berhenti memikirkannya!
“Aku mungkin menjadi satu-satunya orang yang menyadari betapa mempesonanya kau dalam setiap hal yang kau lakukan,” ucap pria itu tiba-tiba, membuatku tersentak kaget mendengar suaranya. Suara itu… aku tidak mungkin salah.
Dia mendongak ke arahku dan untuk pertama kalinya… setelah satu tahun berlalu, aku bisa menatap wajah itu lagi. Wajah dengan senyum manis itu lagi. Pria itu masih tampak sama dan masih tetap mempesona.
Aku menutup mulutku dengan sebelah tanganku yang bebas, berdiri dengan kaki gemetaran. Aku ingin sekali meneriakinya, memarahinya karena tidak memberi kabar apa-apa selama setahun terakhir. Dan di saat bersamaan aku juga ingin sekali memeluknya dan nyaris tidak bisa menahan tanganku agar tetap diam tak bergerak.
“Dan aku memandang mereka semua, heran bagaimana bisa mereka melihatmu membawakan makanan untuk mereka, dan membersihkan meja mereka,” ujarnya tanpa sekalipun mengalihkan tatapannya dari mataku. “Dan tidak pernah sadar bahwa mereka baru saja bertemu dengan wanita terhebat di seluruh dunia.”
Dia mengambil buku menu dari tanganku dan meletakkannya ke atas meja, kemudian meraih tangan kananku dan menggenggamnya ringan. “Tapi aku senang menjadi satu-satunya orang yang menyadarinya, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan seorang saingan.”
Senyumnya tampak lelah, tapi matanya berbinar-binar dan wajahnya begitu berseri, seolah dia baru saja mendapat setumpuk kebahagiaan sekaligus.
Pria itu berdiri, menarik tanganku yang berada dalam genggamannya dan meraihku ke dalam pelukannya, tanpa memedulikan dimana kami berada. Aku bisa merasakannya nafasnya di rambutku dan getaran tawanya, saat dia merangkul pinggangku dan menarik tubuhku merapat.
“Hai… Kyung,” gumamnya pelan. “Aku merindukanmu.”
***
AUTHOR’S POV
“Aku tidak ingat bahwa musim panas bisa seindah ini,” ucap Donghae dengan nada rendah. Dia mengeratkan genggamannya di tangan gadis itu, merasakan kulit tangannya yang halus, dan jari-jari gadis itu yang bertautan dengan jari-jarinya sendiri.
Dia lupa betapa menawannya gadis itu di matanya, betapa manisnya wajah gadis itu saat tersenyum, betapa tepat rasanya saat dia bisa menggenggam gadis itu. Lagi.
Donghae mengalihkan pandangan ke arah pohon-pohon cherry blossom yang tampak rimbun dengan bunga-bunganya yang berwarna putih dan merah muda. Memandang kelopak-kelopak bunga yang berserakan di tanah, melihat betapa indahnya Seoul di musim panas.
Dia teringat betapa sulitnya minggu-minggu pertamanya di Amerika. Betapa dia sangat ingin kembali ke negara ini, tapi bertahan sekuat tenaga saat teringat alasannya datang kesana, alasan kenapa dia meninggalkan tanah kelahirannya. Gadisnya.
“Kau tidak pernah menghubungiku,” ujar Hee-Kyung, terdengar seperti pernyataan.
“Karena akan terlalu sulit bertahan jika aku mendengar suaramu, mengetahui kau sedang apa, apa kau sehat-sehat saja, apa yang kau lakukan.” Donghae berhenti dan menggeleng. “Keadaan sudah sangat sulit karena aku merindukanmu, tanpa perlu ditambah keinginanku untuk segera melihatmu lagi.”
“Aku pikir kau jatuh cinta pada salah satu gadis disana dan melupakanku.”
Donghae tertawa kecil melihat wajah merengut gadis itu kemudian mengulurkan tangan untuk mencubit pipinya. Dia melepaskan genggaman tangan mereka dan menggantinya dengan sebuah rangkulan di bahu Hee-Kyung, menarik gadis itu lebih rapat ke arahnya.
Pria itu tersenyum diam-diam saat merasakan tangan Hee-Kyung yang melingkar ragu-ragu di pinggangnya. Dia menunduk sedikit dan menhirup aroma menyenangkan yang menguar dari rambut gadis itu. Wangi gadis itu seperti calla, bunga lili kesukaan ibunya. Dan gadis itu sama mengagumkannya seperti ibunya.
“Bodoh, bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu.”
“Tentu saja bisa,” sela Hee-Kyung. “Aku tidak tahu apa yang kau lihat dariku. Kita nyaris seperti langit dan bumi, kau tahu? Kau langitnya dan aku buminya.”
Donghae tersenyum dan memiringkan wajahnya agar bisa menatap wajah gadis itu dengan lebih jelas.
“Tapi bumi adalah rumahku,” jawab Donghae lirih. “Bumi tidak bisa hidup tanpa langit yang menaunginya dan langit, tidak akan ada tanpa bumi yang menjadi penopangnya. Itu definisi lain dariku tentang kalimat yang sangat dibenci oleh banyak orang. Seperti bumi dan langit. Sekarang… kalimat itu terdengar lebih indah kan, Kyung~a?”
Hee-Kyung menghentikan langkahnya dan menatap pria itu lekat-lekat. Dia tidak tahu ada berapa banyak kata-kata rayuan yang sudah diberikan pria itu terhadap wanita lainnya, dan dia tidak peduli sudah berapa banyak wanita yang dicium dan ditiduri oleh pria itu. Yang dia tahu hanya pria itu sudah memutuskan untuk berubah demi dirinya, pria itu sudah memutuskan untuk menghabiskan hiddup bersamanya. Dan dia tidak akan mengungkit-ungkit masa lalu pria itu lagi. Yang dia butuhkan hanya kenyataan bahwa pria itu sudah kembali padanya. Bahwa pria itu menjaga kehormatannya dengan begitu baik dan memperlakukannya layaknya seorang pria bersikap. Pria itu mencintainya dan dia….
“Saranghae,” bisik gadis itu lambat, tenggelam dalam hiruk-pikuk taman kota. Tapi pria itu tersenyum ke arahnya dan dia tahu bahwa seribut apapun keadaan di sekeliling mereka, pria itu masih bisa mendengarnya. Dan menyukai ucapannya.
“Kau benar-benar mengucapkannya dengan serius, ya?”
“Wae?”
“Sepertinya kau akan senang kalau tahu bahwa baru saja aku sudah kehilangan kemampuan untuk membaca pikiranmu,” ujar Donghae sambil merangkul bahu gadis itu lagi dan melanjutkan langkah mereka. Pria itu mengernyitkan keningnya saat menyadari bahwa gadis itu tidak berteriak senang mendengar ucapannya.
“Wae? Kau kelihatannya… tidak senang,” kata pria itu bingung.
“Berarti mulai sekarang kau tidak bisa membaca pikiranku saja untuk tahu apa yang kuinginkan? Kenapa kau tidak bilang bahwa kekuatan itu bisa hilang karena aku berkata seperti tadi? Kalau begitu kan aku tidak usah mengatakannya.”
Donghae tertawa keras saat menyadari apa maksud gadis itu.
“Jadi kau mau diam saja dan membiarkanku memenuhi setiap permintaan yang terlintas di benakmu? Begitu?”
Hee-Kyung mengangguk kuat-kuat, membuat Donghae menyentil dahinya.
“Curang!”
“Appo!” protes Hee-Kyung.
Donghae tertawa lagi kemudian memegangi tangan gadis itu yang sedang mengusap-usap dahinya, menggantinya dengan tangannya sendiri. Pria itu menunduk dan menyapukan kecupan ringan di kening Hee-Kyung, membuat gadis itu menghentikan rengekannya dan menatap pria itu dengan wajah memerah.
Donghae menghela nafas pelan dan menarik gaadis itu ke dalam pelukannya.
Dia bisa menghabiskan seumur hidup dengan mendengarkan omelan gadis itu setiap harinya. Dia bisa menghabiskan berpuluh-puluh tahun ke depan dengan menatap wajah gadis itu setiap detiknya. Dan dia yakin dia akan menikmatinya. Dia pasti bisa melakukan apapun asalkan gadis itu tetap bersamanya. Gadis itu. Cho Hee-Kyung. Gadis musim panasnya.
END